Kaidah Ke-43 : Ibadah Pada Waktu Tertentu
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Puluh Tiga
الْعِبَادَاتُ الْمُؤَقَّتَةُ بِوَقْتٍ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ وَقْتِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Ibadah yang ditentukan pada waktu tertentu tidak bisa didapatkan jika telah keluar waktunya kecuali karena adanya udzur
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini termasuk patokan penting dalam pembahasan fiqih. Karena kaidah menjelaskan tentang ibadah manakah yang tetap bisa dilakukan ketika waktunya telah lewat dan mana yang tidak ? Maka perlu kita ketahui bahwa ibadah ditinjau dari waktunya terbagi menjadi dua :
1. Ibadah yang tidak terkait dengan waktu tertentu, yaitu tidak ada waktu khusus dalam pelaksanaannya. Artinya bisa dikerjakan di setiap waktu. Jenis ibadah ini tidak masuk dalam pembahasan kaidah ini. Karena tidak ada batasan waktu, sehingga tidak ada istilah ‘waktunya sudah lewat’. Seperti shadaqah sunnah, dan birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), shalat sunnah mutlaq selain di waktu terlarang, puasa sunnah di selain bari-hari yang terlarang, demikian pula umrah.
2. Ibadah yang ditentukan waktunya, yaitu ada waktu khusus untuk pelaksanaannya. Ia mempunyai awal waktu dan akhir waktu pelaksanaan. Seperti puasa Ramadhan, shalat lima waktu, shalat sunnah rawatib qabliyah ataupun ba’diyah, wuquf di Arafah, menyembelih udhiyah (hewan kurban), zakat fitri, dan nadzar yang ditentukan dengan waktu tertentu.
Berkaitan dengan ibadah jenis kedua ini, para Ulama’ bersepakat bahwa seseorang tidak boleh mengerjakannya sebelum waktunya. Lalu bagaimana hukumnya jika seseorang belum melaksanakan ibadah tersebut sampai waktunya terlewatkan ? Bolehkah ia tetap mengerjakannya setelah itu ? Inilah yang menjadi pembahasan kaidah ini.
Kita katakan bahwa seseorang yang belum mengerjakan suatu ibadah sampai lewat waktunya maka ia tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, ia belum mengerjakannya karena ada udzur syar’i. Kedua, ia belum mengerjakannya dengan sengaja tanpa udzur syar’i.
Jika hal itu terjadi karena ada udzur syar’i maka ia boleh mengerjakan ibadah tersebut meskipun telah lewat waktunya. Dan ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakan pada waktunya, tidak berkurang pahalanya sedikitpun.
Adapun jika hal itu terjadi tanpa adanya udzur syar’i, misalnya ia sengaja meninggalkannya karena malas, atau sibuk dengan urusan dunia, atau semisalnya maka ibadah-ibadah itu jika telah lewat waktunya maka ia tidak diperbolehkan mengerjakannya lagi. Seandainya ia mengerjakan di selain waktunya seribu kali maka itu tidak cukup. Karena penentuan waktu untuk ibadah-ibadah itu mempunyai hikmah yang agung, dan syariat tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk ibadah tersebut kecuali karena adanya maslahat dan hikmah yang dalam. Seandainya dilaksanakan diselain waktunya maka tidak akan terwujud maslahat yang diharapkan tersebut.[1]
DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh tentang do’a orang-orang yang beriman :
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. [al-Baqarah/2:286]
Disebutkan dalam salah satu hadits qudsi bekaitan dengan ayat ini, bahwasanya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قَدْ فَعَلْتُ
Sungguh Aku telah mengabulkannya. [2]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. [al-Baqarah/2:184]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa seseorang yang tidak berpuasa pada hari-hari di bulan Ramadhan maka disyariatkan baginya untuk menggantinya di hari-hari lain, yaitu jika ia meninggalkannya karena udzur, seperti sakit atau safar.[3]
Demikian pula disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ
Barangsiapa yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka hendaklah ia mengerjakan shalat setelah ingat dan tidak ada kaffarah selain itu.[4]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan, yaitu orang yang tidur sampai ia bangun, dan seorang anak sampai ia baligh, serta orang gila sampai ia sadar[5].
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Cukup banyak contoh kasus yang masuk dalam kaidah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Seseorang yang meninggalkan shalat karena lupa atau tertidur sampai keluar waktunya maka ia mengerjakannya saat ia ingat atau telah bangun. Dalam kasus ini ia diperbolehkan mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya karena ada udzur syar’i[6]
Adapun orang yang meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur syar’i maka ia tidak boleh mengqadha’nya selama-lamanya. Seandainya ia mengerjakan shalat itu seribu kali kewajiban shalat itu tidak akan lepas darinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan diperbolehkannya mengqadha’ shalat adalah untuk orang yang ada udzur saja, adapun orang yang tidak berudzur maka tidak diberikan kelonggaran. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sebenar-benarnya dan hendaknya memperbanyak amalan shalat sunnah untuk menutup kekurangan yang besar tersebut.
2. Apabila seseorang belum mengeluarkan zakat fitri karena lupa atau tertidur dan tidak terbangun kecuali telah selesai shalat ‘id, atau tidak menemui orang fakir kecuali setelah selesai shalat ‘id, maka boleh baginya mengeluarkannya setelah shalat ‘id. Dan insya Allah itu sah sebagai zakat fitri darinya dan diharapkan pahala yang sempurna baginya.[7]
Adapun orang yang belum mengeluarkan zakat fitri di waktu yang telah ditetapkan sampai leat waktunya tanpa udzur maka tidak sah jika ia mengeluarkan setelahnya.
3. Jika seseorang ingin menyembelih udhiyah (hewan kurban) tertentu, kemudian ia belum mengerjakannya sampai lewat waktunya, karena pingsan selama hari idul adha dan tiga hari tasyriq setelahnya, sedangkan tidak ada orang yang mewakilinya dan tidak bangun kecuali setelah tenggelamnya matahari pada hari ketiga hari tasyriq maka boleh baginya menyembelih dengan niat udhiyah setelah itu.
Sedangkan orang yang sengaja menunda penyembelihan hewan kurban sampai lewat waktunya maka jika ia menyembelih setelah itu tidaklah sah sebagai udhiyah, bahkan ia berdosa menurut pendapat yang mewajibkan udhiyah.
4. Barang siapa tidak berpuasa di hari-hari bulan Ramadhan karena sakit, safar, atau udzur syar’i lainnya maka disyariatkan untuk mengqadha’(menggantinya) di hari-hari lainnya.[8]
Adapun orang yang tidak berpuasa sehari saja dengan sengaja tanpa udzur syar’i maka tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengqadha’nya. Seandainya ia berpuasa sepanjang tahun tidaklah gugur tanggungannya untuk berpuasa di hari yang ditinggalkan tersebut.[9]
Maka sudah semestinya seorang Muslim bersemangat dalam mengejakan ibadah-ibadah yang disyaria’atkan dan melaksanakannya di waktu yang telah ditentukan, sehingga tanggungannya bisa gugur dan keluar dari lingkup tuntutan melaksanakan ibadah itu. Orang yang meninggalkannya tanpa udzur syar’i maka hendaknya bersegera bertaubat dan memperbanyak mengerjakan ibadah sejenisnya. Semoga dengan itu Allâh Azza wa Jalla mengampuni kesalahan dan ketergelincirannya.[10]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan kaidah ini dalam as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, VI/174.
[2]. HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, no. 126.
[3]. Lihat Minhaj al-Muslim, Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Dar Ibn al-Haitsam, Kairo, Hlm. 238-239.
[4]. HR. al-Bukhari dalam kitab Mawâqitush Shalat, no. 597. Dan Muslim dalam kitab al-Masâjid, no. 684 dari Anas bin Malik.
[5]. HR. Abu Dawud no. 4398, at-Tirmidzi no. 1423, an-Nasa’i no. 3432, dan Ibnu Majah no. 2041. Hadits dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 3512.
[6]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah al Fauzan, Cet. I, Tahun 1424 H/2003 M, Darul ‘Aqidah, Kairo, I/85.
[7]. Lihat as-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, VI/174-175.
[8]. Tentang beberapa udzur syar’i yang menyebabkan seseorang diperbolehkan menqadha’ puasa Ramadhan di antaranya bisa dilihat dalam al-Mulakhash al-Fiqhiy, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, I/307-308.
[9]. Terdapat ancaman yang keras bagi orang yang sengaja membatalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja tanpa udzur, diantaranya hadits Abu Umamah al Bahili riwayat Ibnu Hibbân yang dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh at Targhîb wat Tarhîb, no. 1005.
[10]. Diangkat dari Talqîh al-Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-27.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4242-kaidah-ke-43-ibadah-pada-waktu-tertentu.html